Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 40]
Senin, 19 Februari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kembali Allah berikan taufik kepada kita untuk bersama-sama memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya kita telah masuk pembahasan faidah dari hadits Ibnu ‘Abbas yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan arahan kepadanya untuk mendahulukan dakwah tauhid sebelum perintah-perintah lainnya. Di dalam hadits itu juga terkandung pelajaran bahwa tauhid merupakan kandungan dari dua kalimat syahadat.

Kalimat laa ilaha illlallah mengandung makna tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, sedangkan kalimat anna Muhammadar rasulullah mengandung makna bahwa kita tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dakwah tauhid ini merupakan prioritas utama dalam agama Islam. Karena tauhid adalah pondasi dan syarat diterimanya seluruh amalan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Oleh sebab itu setiap rasul menjadikan dakwah tauhid sebagai tema pokok dakwahnya. Setiap rasul berkata kepada umatnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hakikat dan intisari agama Islam adalah memurnikan ibadah kepada Allah dan menjauhi syirik dan perusak-perusak tauhid lainnya.

Para ulama kita menjelaskan bahwa islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Sebagaimana islam tidak tegak tanpa tauhid maka ibadah pun tidak akan diterima tanpa tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman tentang amal-amal kaum musyrik (yang artinya), “Dan Kami hadapi apa-apa yang telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

*Pentingnya Dakwah Tauhid*

Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hlm. 6 oleh Abu Bakr Muhammad Zakariya)

Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat mukadimah kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hlm. 6) 

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.” (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadits no 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4/362)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hlm. 18)

Di dalam hadits Mu’adz tersebut juga terkandung faidah bahwa dalam hal dakwah dibutuhkan tahapan dan proses dalam menerapkan ajaran agama. Perkara paling mendasar yang harus ditanamkan adalah aqidah tauhid. Setelah itu dilanjutkan dengan mengajarkan sholat dan rukun-rukun Islam yang lainnya.

*Kedudukan Sholat dalam Agama*

Sholat memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya sholat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabut : 45). Allah berfirman (yang artinya), “Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (Thaha : 14) (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 1/301)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang di dalam sholatnya khusyu’.” (al-Mu’minun : 1-2). Allah juga berfirman (yang artinya), “Celakalah orang-orang yang melakukan sholat itu; yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (al-Maa’un : 4-5). Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah (yang artinya), “Wahai Rabbku, jadikanlah aku orang yang selalu mendirikan sholat dan juga dari keturunanku….” (Ibrahim : 40) (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/302-303)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah sholat. Apabila baik maka baik pula seluruh amalnya. Apabila buruk/rusak maka rusaklah seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath, disahihkan al-Albani). Di dalam hadits yang sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan sholat lima waktu seperti mandi lima kali sehari sehingga ia akan bisa menghapuskan dosa-dosa (lihat al-Mausu’ah, 1/305)

Dari Jabir radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seorang dengan syirik atau kekafiran itu adalah sholat.” (HR. Muslim). Dari Buraidah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan sahih serta disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi) (lihat al-Mausu’ah, 1/307)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan sholat maka dia sudah tidak punya agama.”. Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan sholat.” (lihat Ta’zhim ash-Sholah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hlm. 21)

Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan sholat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamr dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat (lihat Ta’zhim ash-Sholah, hal. 23, lihat juga Kitab ash-Sholah karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5)

Sholat lima waktu merupakan salah satu diantara lima rukun Islam. Bahkan ia merupakan rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Barangsiapa menentang kewajibannya maka sungguh dia telah kafir (lihat Taisir al-‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 83)

Barangsiapa meninggalkan sholat secara sengaja karena menentang kewajibannya maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dia harus diminta bertaubat. Apabila dia tidak mau bertaubat maka dibunuh karena telah berstatus murtad. Adapun apabila dia meninggalkan sholat karena malas dan masih mengakui kewajibannya maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan sekelompok ulama muhaqqiq/peneliti berpendapat bahwa orang itu telah kafir keluar dari Islam. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwasanya orang itu telah melakukan kekafiran amalan (kufur ‘amali) yang tidak mengeluarkan dari Islam. Meskipun demikian orang itu tetap harus diperintahkan untuk mengerjakan sholat. Apabila dia tetap tidak mau maka orang itu harus dibunuh, bahkan menurut ulama yang tidak mengkafirkannya. Hanya saja ulama berbeda pendapat apakah dia dibunuh karena murtad atau sebagai hukuman hadd. Bagaimana pun juga meninggalkan sholat adalah tindakan yang sangat membahayakan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah bahwasanya meninggalkan sholat adalah kekafiran yang mengeluarkan dari agama (lihat Tas-hil al-Ilmam, 2/9-10)

Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Sholat.” (lihat dalam al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 176) 

Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang ada suatu amalan yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir selain daripada sholat.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 178)

Nafi’ bekas budak yang dimerdekakan oleh Ibnu Umar memberikan jawaban hukum tentang status orang yang mengakui wahyu yang telah Allah turunkan dan mengimani pula apa yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu orang itu berkata, “Aku tidak mau sholat. Dan aku mengetahui bahwa ia merupakan kewajiban dari Allah ta’ala.” Maka Nafi’ menjawab, “Dia itu adalah orang kafir.” (lihat al-Manhaj as-Salafi, hal. 179)

*Ruh dan Tujuan Pokok Sholat*

Di dalam kitab tafsirnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata : Ketahuilah -semoga Allah Membimbingmu untuk taat kepada-Nya dan Meliputimu dengan penjagaan-Nya serta Menjadi penolongmu di dunia dan di akhirat- bahwa sesungguhnya maksud dari sholat, ruh, dan intinya itu adalah menghadapnya hati kepada Allah ta’ala di dalamnya. (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hlm. 7)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan : Sesungguhnya maksud/tujuan utama dari sholat, ruh, dan intinya itu adalah menghadapnya hati kepada Allah ta’ala di dalamnya. Inilah maksud/tujuan utama dari sholat. Bukanlah yang dimaksud dengan sholat semata-mata berdiri, ruku’, dan sujud sedangkan hatinya lalai dan tidak hadir di dalamnya. Sholat yang seperti ini hanya sekedar menjadi gerakan/tampilan bentuk lahiriah dan tidak memberi manfaat bagi pelakunya.

Sesungguhnya sholat adalah jalinan hubungan antara seorang hamba dengan Rabbnya. Dimana seorang hamba menghadapkan diri kepada Rabbnya di dalamnya. Dan dia berusaha untuk menghadirkan hatinya di dalam sholat itu. Dia berdoa kepada-Nya dan merenungkan al-Qur’an yang sedang dibaca di dalam sholatnya sehingga dia akan bisa memetik manfaat dari sholat itu.

Adapun dengan sekedar kehadiran diri dan fisiknya, dengan ruku’, sujud, dan berdirinya di dalam sholat tanpa disertai dengan kehadiran hati; maka orang semacam ini memang telah menunaikan sholat secara lahiriah tetapi secara batin dia belum menunaikannya. Dan dia tidak diperintahkan untuk mengulangi sholat, karena dia telah melakukannya. Akan tetapi sholat semacam ini tidak mendatangkan manfaat baginya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah ta’ala berfirman mengenai sholat (yang artinya), “Dan sesungguhnya sholat itu terasa berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwasanya mereka akan berjumpa dengan Rabbnya dan bahwasanya mereka akan kembali kepada-Nya.” (al-Baqarah : 45-46).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang di dalam sholatnya khusyu’.” (al-Mu’minun : 1-2)

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam -sebagaimana yang akan disebutkan nanti- kepada orang-orang yang lalai dari sholatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Celakalah orang-orang yang melakukan sholat itu…” (al-Maa’un : 4)

Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang melakukan sholat. Karena mereka secara lahiriah memang melakukan sholat, tetapi mereka itu “…lalai dari sholatnya.” Artinya mereka lalai dari khusyu’ di dalamnya, lalai dari melaksanakan sholat itu tepat pada waktunya, lalai dari menghadirkan hati di dalamnya. Maka Allah pun mengancam mereka dengan wail yaitu azab; suatu azab yang sangat keras, padahal mereka melakukan sholat. Akan tetapi mereka tidak menegakkan sholat, sementara yang dituntut itu adalah menegakkan sholat. Artinya sholat itu terlaksana dengan terpenuhi ketentuan-ketentuannya.

Apabila ancaman seperti ini ditujukan kepada orang-orang yang melakukan sholat hanya saja mereka lalai dari sholatnya lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang tidak pernah sholat sama sekali? Kita berlindung kepada Allah darinya. Mereka itu adalah orang-orang kafir dan akan berada kekal di dalam neraka Jahannam. ‘Barangsiapa meninggalkan sholat maka dia telah kafir’.

Namun, barangsiapa melakukan sholat tetapi tidak hadir hatinya, tidak menyempurnakan ruku’, atau tidak menyempurnakan sujud, atau tidak menyempurnakan berdirinya, maka orang semacam ini telah sholat secara lahiriah. Atau dia melakukan sholat di luar waktunya, maka ini pun melakukan sholat secara lahiriah dan tidak diperintahkan untuk mengulanginya. Akan tetapi sholat semacam ini tidak bermanfaat baginya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itu hendaknya setiap muslim memperhatikan masalah ini dengan baik di dalam sholatnya. Na’am.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata : Apabila anda melakukan sholat tanpa hati yang hadir hal itu seperti jasad yang tidak ada ruh di dalamnya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Celakalah orang-orang yang melakukan sholat itu; yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (al-Maa’un : 4-5) (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hlm. 7)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan : Apabila anda melakukan sholat tanpa disertai kekhusyu’an dan kehadiran hati maka sholat anda seperti tubuh yang tidak ada ruh di dalamnya. Ruh sholat itu adalah kekhusyu’an dan hadirnya hati. Inilah ruh daripada sholat. Karena sholat itu terdiri dari tampilan fisik dan ruh. Mirip seperti tubuh yang tersusun dari tampilan fisik, anggota badan, dan tubuh. Akan tetapi jika di dalamnya tidak ada ruh maka itu adalah mayat. Demikian pula sholat yang di dalamnya tidak disertai dengan kehadiran hati dan kekhusyu’an kepada Allah ‘azza wa jalla; maka ini seperti tubuh yang tidak ada ruhnya.

Allah berifman (yang artinya), “Jagalah sholat-sholat itu dan juga sholat wustha, dan berdirilah untuk Allah dengan penuh qunut/kepatuhan.” (al-Baqarah : 238). Yang dimaksud dengan qunut di sini adalah ketaatan, ketundukan, kehadiran hati, kekhusyu’an. “Berdirilah untuk Allah dengan penuh ketaatan.” maka hendaknya setiap insan senantiasa mengingat akan hal ini. * Sumber : Video Tafsir al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam pelajaran musim panas (Durus Shaifiyah) 1430 H yang disampaikan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah [Pelajaran bagian 1]

Semoga catatan singkat ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-40/